Anggota parlemen Malaysia mendukung rencana pemerintah untuk mengatur pengelolaan internet di negara tersebut demi menanggulangi masalah online seperti penipuan, perundungan siber, pedofilia, dan pornografi anak. Meskipun terdapat kritik terhadap rancangan undang-undang yang diusulkan oleh Menteri Komunikasi Fahmi Fadzil, pemerintah tetap memandang perlunya pembatasan untuk menjaga keselamatan masyarakat.
RUU yang diajukan mencakup sanksi yang lebih ketat terhadap pelanggaran konten serta memberikan kewenangan luas kepada penegak hukum untuk menyelidiki dan menindak tegas pelanggaran online. Salah satu poin penting RUU ini adalah kewajiban penyedia layanan untuk memberikan data pengguna kepada pihak berwenang selama proses investigasi.
Sejumlah pemangku kepentingan telah dilibatkan dalam penyusunan RUU tersebut, yang menandakan upaya pemerintah Malaysia untuk mengikuti jejak negara-negara lain di Asia yang mulai membatasi platform online dan menuntut pertanggungjawaban perusahaan teknologi besar terhadap konten ilegal. Meskipun perusahaan besar seperti Meta telah menyatakan ketaatan mereka terhadap regulasi setempat, kekhawatiran mengenai dampak negatif dari regulasi yang berlebihan tetap menjadi perdebatan.
Dalam voting parlemen pada tanggal 9 Desember 2024, RUU tersebut memperoleh dukungan mayoritas dengan suara 59-40. Namun, masih terdapat perbedaan pendapat terkait rincian penting dalam RUU, seperti definisi ujaran kebencian dan wewenang penegak hukum untuk bertindak tanpa surat perintah. Meskipun terdapat pro dan kontra dalam debat parlemen, RUU akhirnya disahkan tanpa perubahan dan akan dibawa ke Senat untuk persetujuan akhir.

