Setelah reformasi tahun 1998, pemberantasan korupsi menjadi agenda utama di Indonesia. Pengalaman masa lalu dengan korupsi yang merajalela di masa Orde Baru menunjukkan betapa pentingnya memerangi korupsi. Korupsi tidak hanya merusak fondasi negara, tetapi juga menghambat terciptanya pemerintahan yang bersih dan demokratis. Untuk menghadapi kejahatan luar biasa ini, langkah-langkah luar biasa juga diperlukan. Dibentuk instrumen khusus seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pengadilan Tipikor. Namun, ilegalitas Pengadilan Tipikor mengakibatkan keberadaannya dianggap inkonstitusional dan menimbulkan dualisme dalam penanganan kasus korupsi.
Mahkamah Konstitusi kemudian menegaskan perlunya menyelaraskan UU KPK dengan UUD 1945 dan membentuk undang-undang khusus untuk pengadilan Tipikor. Meskipun RUU Pengadilan Tipikor disahkan pada 2009 untuk memastikan keberlangsungan pengadilan ini, namun seiring berjalannya waktu, muncul berbagai masalah yang menghambat kinerja pengadilan. Diantaranya adalah proses seleksi hakim yang belum optimal, kekurangan anggaran, serta kurangnya kerja sama dengan PPATK.
Keberadaan pengadilan Tipikor di setiap kabupaten juga menjadi tantangan tersendiri dalam menyeleksi hakim yang berkualitas. Para akademisi cenderung enggan mendaftar sebagai hakim Tipikor karena berbagai kendala, seperti keengganan untuk melepaskan jabatan di kampus, seleksi yang terburu-buru, dan kurangnya anggaran. Temuan rekam jejak hakim yang kurang optimal dan kurangnya kerja sama dengan PPATK juga menjadi hambatan dalam menyeleksi hakim yang benar-benar integritas.
Oleh karena itu, diperlukan perbaikan dalam proses seleksi hakim Tipikor agar dapat menjamin terselenggaranya pengadilan yang efektif dan berkualitas dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Selain itu, kerja sama antara institusi terkait juga perlu ditingkatkan untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas pengadilan Tipikor dalam menegakkan hukum.