Perang antara Israel dan Iran semakin memanas dengan serangan bertubi-tubi yang telah menyebabkan kerusakan parah dan merenggut nyawa. Namun, media dan jurnalis di Israel terbatas dalam menyebarkan informasi terkait perang sesuai dengan surat edaran dari badan sensor militer Israel. Pembatasan kebebasan media di Israel bukan hal baru, sebagai bentuk lanjutan dari pembatasan yang pertama kali diterapkan oleh Inggris saat mandat Palestina pada tahun 1945.
Pemerintah Israel telah memberlakukan peraturan baru terkait pelarangan media dan jurnalis terkait dengan perang melawan Iran. Aturan ini memberikan pembatasan khusus terkait pelaporan terkait serangan Iran, seperti pelarangan memfilmkan atau menyiarkan gambar dari lokasi terdampak perang, larangan menggunakan pesawat drone atau kamera sudut lebar, dan juga larangan menyiarkan gambar rudal Israel yang diluncurkan atau rudal Iran yang dicegat.
Penyensoran media di Israel merupakan hal yang biasa, di mana media harus menyerahkan artikel kepada tim sensor militer untuk persetujuan sebelum dipublikasikan. Penyensor memiliki kewenangan untuk menghentikan penerbitan artikel yang dianggap membawa ancaman bagi keamanan nasional. Pembatasan terhadap kebebasan pers di Israel semakin diperketat dengan adanya amandemen undang-undang antiterorisme pada tahun 2023.
Indeks Kebebasan Pers Dunia menempatkan Israel di peringkat ke-112 dari 180 negara dalam hal kebebasan pers. Definisi penyensoran yang luas dan subjektif di Israel menunjukkan adanya pembatasan dalam liputan media terkait dengan konflik Iran. Meskipun jurnalis atau penerbit dapat mengajukan banding atas keputusan sensor ke Mahkamah Agung, pembatasan terhadap kebebasan pers masih terus berlanjut di Israel.