Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan berbagai faktor yang menjadi pemicu hujan lebat hingga ekstrem selalu terkonsentrasi di wilayah utara Jawa Tengah.
Peneliti Iklim dan Atmosfer BRIN Erma Yulihastin mengatakan bentuk Semenanjung Muria dengan Gunung Muria di bagian utara—gunung satu-satunya yang terletak di pesisir utara Jawa, menjadi daerah tangkapan hujan yang berperan menarik hujan dari laut ke darat.
“Pola konveksi laut sangat intens terbentuk jelang tengah malam dalam pola badai squall line. Hujan deras dengan petir dan angin kencang dapat dihasilkan oleh badai squall line,” kata Erma melalui cuitan pada akun X miliknya yang dikutip di Jakarta, Rabu.
Squall line atau garis badai adalah sekelompok badai yang tersusun dalam satu garis yang sering kali disertai dengan angin kencang dan hujan lebat. Panjang garis badai bisa mencapai ratusan mil, tetapi lebar biasanya hanya 10 atau 20 mil.
Erma menjelaskan konveksi laut utara Jawa Tengah tak hanya bisa terbentuk orisinal, tapi juga dipengaruhi oleh penjalaran dari Pulau Kalimantan.
Apabila hujan turun di Kalimantan Selatan, maka hujan dapat menjalar ke laut dan menuju Jawa Tengah.
Menurutnya, konveksi laut utara Jawa Tengah juga diperkuat dengan penjalaran konveksi yang telah terbentuk di utara Jabodetabek.
“Oleh angin baratan, hujan di utara Jawa Barat dapat terus menjalar ke timur dan berakhir di Jawa Tengah karena tertahan Semenanjung Muria,” kata Erma.
Lebih lanjut dia menyampaikan bahwa suhu permukaan laut yang memanas di utara Jawa Tengah juga berperan signifikan meningkatkan kelembapan, sehingga proses pembentukan hujan dari konveksi laut dapat terbentuk setiap hari secara intens dari tengah malam.
Kegiatan memodifikasi cuaca dengan menaburkan garam di atas Laut Jawa dengan harapan hujan hanya akan terbentuk di laut dapat berdampak sebaliknya, yaitu memperparah proses konveksi laut karena pola garis badai ketika dipecah justru akan membuat hujan semakin meluas ke darat.
Erma menegaskan tidak ada jalan lain untuk menghadapi dampak perubahan iklim yang meningkatkan intensitas dan frekuensi cuaca ekstrem dan skala dampak banjir meluas, kecuali mitigasi dan adaptasi melalui peningkatan sistem peringatan dini dan perbaikan infrastruktur banjir.
“Tentu tak kalah penting adalah kembalikan lagi fungsi dataran tinggi di utara Jepara sebagai hutan alam yang sejak zaman Belanda menjadi daerah efektif serapan air dan bangunlah banyak embung di sekitarnya untuk menampung air hujan,” pungkas Erma.