Pidato Presiden Prabowo Subianto di depan para mahasiswa Indonesia di Kairo Mesir pada Rabu 18 Desember 2024 menimbulkan kontroversi dan memicu perdebatan yang keras. Hal ini menyebabkan berbagai kritik dari masyarakat dan akademisi hukum. Presiden Prabowo menyampaikan dalam pidatonya dua pernyataan yang menjadi sorotan, yaitu memberi kesempatan untuk taubat dan mengembalikan harta yang dicuri. Dalam tinjauan hukum, konsep pengampunan sering dikaitkan dengan grasi, amnesti, abolisi, atau rehabilitasi yang diatur dalam Konstitusi dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Penerapannya terhadap pelaku korupsi menimbulkan dilema etis dan hukum terkait dampak terhadap efek jera, hak-hak korban, serta persepsi publik terhadap integritas penegakan hukum.
Untuk memahami polemik pandangan tentang pengembalian hasil kejahatan tindak pidana korupsi ke negara, perlu dilihat dari tiga aspek utama: sejarah politik hukum pemberantasan korupsi sejak Indonesia merdeka, perkembangan pengaturan pemberantasan korupsi Internasional, dan urgensi regulasi Indonesia. Sebelum membuat penilaian terhadap pernyataan Presiden Prabowo, penting untuk memahami jenis-jenis korupsi yang telah diatur dalam hukum. Sejak era penjajahan Belanda, upaya memberantas korupsi telah digalakkan sebagai bagian dari langkah mendukung situasi darurat yang sedang berlangsung saat itu.
Selama berbagai masa, hukum terkait delik korupsi terus mengalami perubahan, termasuk ketentuan hukum yang mengatur meskipun koruptor mengembalikan sebagian harta yang dicuri, namun masih terdapat batasan dalam pemulihan aset negara. Konsep pernyataan Presiden Prabowo tentang pengembalian harta koruptor memperlihatkan semangat untuk melindungi keuangan negara dari penyalahgunaan wewenang. Diperlukan peraturan baru yang dapat menyesuaikan dengan perkembangan internasional sekaligus relevan dengan kebutuhan hukum di Indonesia untuk memberantas korupsi secara efektif.
Terdapat pandangan yang menyebutkan bahwa RUU Perampasan Aset dapat menjadi solusi efektif dalam menangani kasus korupsi di Indonesia. Namun, peraturan tersebut masih terbatas pada hasil kejahatan yang telah dinikmati oleh pelaku, bukan seluruh kerugian yang ditimbulkan dari tindak korupsi. Perhatian harus diberikan pada keseimbangan dalam proses pembuktian antara pihak penuduh dan terdakwa agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang. Kesimpulannya, semangat Presiden Prabowo untuk mengembalikan uang negara yang dicuri oleh koruptor perlu didukung dengan perbaikan pada aturan pemberantasan korupsi sebelum membahas pemulihan harta koruptor.