Media sosial telah menjadi bagian integral dalam kehidupan sehari-hari banyak orang saat ini. Salah satu gejala yang semakin sering terjadi adalah perilaku kecanduan atau craving digital. Hal ini ditandai dengan kebutuhan seseorang untuk terus memeriksa platform media sosial seperti Instagram untuk validasi sosial dengan mendapatkan likes, komentar, dan views pada postingannya. Erdi craving ini tidak hanya berpijak pada hasrat untuk mendapatkan perhatian, tetapi juga mempengaruhi keseimbangan mental seseorang.
Dalam era digital ini, media sosial tidak hanya berperan sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai arena pencitraan diri. Fenomena craving digital merupakan hasil dari keinginan mendalam untuk mendapatkan validasi dalam bentuk likes, followers, dan interaksi lainnya. Hal ini dipicu oleh pelepasan hormon kebahagiaan dalam otak, yang membuat seseorang merasa senang dan puas secara instan. Dalam perspektif neurologi, craving ini memiliki dasar biologis yang nyata karena melibatkan hormon-hormon tertentu dalam otak.
Namun, craving ini tidak hanya berdampak pada level biologis, melainkan juga psikologis. Berdasarkan Teori Psikoanalisis Freud, craving digital dapat dilihat sebagai interaksi antara tiga elemen psikis utama manusia: id, ego, dan superego. Id sebagai sumber dorongan naluriah, ego sebagai pengatur realitas, dan superego sebagai rasa bersalah yang muncul akibat perbandingan diri dengan orang lain.
Selain itu, dengan meningkatnya krisis kesehatan mental global, fenomena craving digital semakin relevan karena dapat memengaruhi keseimbangan mental seseorang. WHO melaporkan bahwa sebagian besar orang di dunia mengalami gangguan mental, yang semakin dipicu oleh penggunaan media sosial secara intens selama pandemi COVID-19. Oleh karena itu, penting untuk membangun kesadaran individu terhadap perilaku digital mereka dan mengambil langkah-langkah untuk mengurangi dampak negatifnya.
Melalui digital detox, pengaturan waktu konsumsi media sosial, dan kesadaran akan dampak psikologisnya, seseorang dapat mengatasi craving digital secara efektif. Selain itu, pendekatan yang lebih luas perlu diterapkan oleh komunitas dan institusi untuk meningkatkan literasi digital dan memahami dampak media sosial terhadap kesehatan mental. Perusahaan teknologi dan brand juga perlu memainkan peran etis dalam menciptakan pengalaman digital yang mendukung kesejahteraan psikologis penggunanya.
Dengan demikian, kesadaran individu dan kesadaran kolektif terhadap dampak craving digital dapat membantu mengubah media sosial menjadi ruang yang sehat, memperkaya pengetahuan, dan memperkuat koneksi sosial yang nyata. Melalui pemahaman yang mendalam terhadap dinamika bawah sadar dan strategi digital yang dimanfaatkan oleh perusahaan teknologi, seseorang dapat menggunakan media sosial dengan bijak dan membangun hubungan yang lebih sehat dengan teknologi.