Strategi Konsumen untuk Akses Informasi dari Mesin Pencari hingga Media Sosial

Date:

Perilaku manusia dipengaruhi oleh berbagai stimulus yang mereka terima dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari penglihatan, pendengaran, pengecapan, penciuman, hingga perabaan. Setiap stimulus ini membentuk pola perilaku yang kemudian dianalisis oleh pasar untuk memahami bagaimana manusia memproses informasi, mulai dari penyimpanan di otak hingga tahap pengambilan keputusan. Seiring perkembangan zaman, perilaku konsumen pun turut berubah, terutama didorong oleh kemajuan teknologi dan peristiwa besar seperti pandemi. Di zaman serba cepat kepraktisan menjadi sebuah senjata. Mulai dari kuliner, fashion, transportasi, teknologi berlomba menawarkan kemudahan untuk menunjang kehidupan manusia yang semakin dinamis dan berpacu dengan waktu. Salah satu fenomena menarik adalah bergesernya pola pencarian informasi dari mesin pencari ke platform video pendek seperti TikTok. Dahulu, konsumen terbiasa mengetik kata kunci dan menelusuri berbagai laman hasil pencarian. Kini, mereka cenderung mencari informasi melalui video pendek yang telah dikemas secara visual menarik dan langsung pada intinya. Fenomena ini paling menonjol di kalangan Generasi Z, kelompok yang dikenal cepat beradaptasi dengan teknologi dan menjadi target utama pasar digital saat ini. Alih-alih mengetik kata kunci di mesin pencari, mereka lebih memilih mencari referensi melalui video pendek yang menyajikan visual dinamis dan audio yang catchy. Konten video pendek, meme, dan cerita singkat menjadi favorit karena sesuai dengan gaya hidup mereka yang serba cepat dan dekat dengan internet. Meskipun pergeseran ini paling dominan di kalangan Gen Z, generasi milenial juga mulai beradaptasi dengan tren yang sama. Data menunjukkan bahwa 49% generasi milenial kini menggunakan TikTok sebagai sumber informasi. Survei Adobe terhadap lebih dari 800 konsumen dan 250 pemilik bisnis juga menemukan bahwa 40% konsumen secara keseluruhan telah mengandalkan TikTok untuk mencari berbagai informasi. Temuan ini menunjukkan bahwa preferensi pencarian berbasis video pendek tidak lagi eksklusif bagi Gen Z, melainkan telah meluas ke generasi lainnya. Pergeseran pola konsumsi informasi ini menjadi sinyal bagi brand dan pemasar untuk menyesuaikan strategi konten mereka agar tetap relevan serta mampu menjangkau audiens dari berbagai kelompok usia. Konten video pendek kini telah menjadi primadona dalam strategi pemasaran digital. Perubahan kebiasaan individu dalam mengonsumsi informasi dan berinteraksi dengan brand bukan hanya mencerminkan pola perilaku, tetapi juga menyajikan data berharga bagi perusahaan. Tren seperti personalisasi konten, pemasaran berbasis komunitas, serta User-Generated Content (UGC), kini semakin mendominasi strategi digital marketing. Hal ini sejalan dengan teori types of memory yang dikemukakan Michael R. Solomon dalam bukunya “Consumer Behavior: Buying, Having, and Being”. Solomon menjelaskan bahwa proses memori manusia terdiri dari lima tahap utama: Sensory Memory (Memori Sensorik), Attention (Perhatian), Short-Term Memory (Memori Jangka Pendek), Elaborative Rehearsal (Pengulangan Elaboratif), hingga Long-Term Memory (Memori Jangka Panjang). Konsep perilaku konsumen yang dijelaskan oleh Solomon sebenarnya bukan hal baru. Strategi berbasis memori ini telah lama diterapkan dalam marketing konvensional. Namun, media komunikasi terus berevolusi. Di tengah pergeseran tren digital, pasar harus tetap adaptif dan jeli membaca perubahan. TikTok telah menjadi warna baru dalam lanskap bisnis digital. Platform ini membawa perubahan dalam pola perilaku konsumen sekaligus menghadirkan tantangan dan peluang, khususnya bagi bisnis B2C (Business-to-Consumer). Bisnis yang menyasar individu merupakan pasar yang ideal untuk menerapkan strategi ini demi memperluas jangkauan produk mereka. Namun, bagaimana dengan bisnis B2B (Business-to-Business)? Apakah memanfaatkan TikTok adalah strategi pemasaran yang relevan bagi mereka? Sebagian pihak beranggapan bahwa platform ini tidak sesuai dengan target pasar B2B. Ada pula yang masih skeptis dan memandang TikTok sebatas media hiburan, kurang cocok untuk bisnis yang mengedepankan citra profesional dan pendekatan formal seperti perusahaan B2B atau korporasi. Namun, ada satu hal penting yang kerap luput dari perhatian para stakeholder: di balik setiap keputusan bisnis B2B, tetap ada manusia. Artinya, faktor emosional tetap memainkan peran penting dalam proses pengambilan keputusan. Fenomena ini tercermin dari para kreator konten seperti Felix Sulhendri dan Raymond Chin Verren yang sukses memanfaatkan TikTok sebagai platform edukasi bisnis dan keuangan. Keberhasilan mereka menunjukkan bahwa pengguna TikTok tidak hanya mencari hiburan, tetapi juga informasi yang bernilai. Perubahan perilaku ini semestinya menjadi peluang bagi perusahaan untuk menyesuaikan strategi komunikasinya agar lebih relevan dengan kebiasaan audiens saat ini. Michael R. Solomon juga menegaskan bahwa setelah brand mencapai tahap awareness, langkah selanjutnya adalah membangun keterlibatan emosional dengan audiens. Salah satu caranya adalah dengan mengelaborasi identitas brand agar memiliki “nyawa” yang mampu membentuk koneksi dengan target pasar. Contoh konkret dari penerapan strategi ini dapat dilihat pada akun resmi TikTok “Pesona Indonesia”. Dengan konsisten menggunakan berbagai sound ‘Jamet’ viral, akun ini tidak hanya berhasil meningkatkan brand awareness, tetapi juga menciptakan interaksi dan keterikatan emosional dengan audiens. Perubahan lanskap digital tentu menimbulkan pro dan kontra. Apakah setiap brand harus mengikuti tren dan jump on the bandwagon? Jawabannya tidak selalu. Kebijaksanaan dalam menyusun strategi digital tetap menjadi pagar utama yang perlu dijaga oleh setiap perusahaan. Digitalisasi media sosial dan pergeseran perilaku konsumen bukanlah fenomena yang bisa dihindari, melainkan harus dipahami dan direspons secara adaptif. Dengan pendekatan yang tepat, TikTok dan platform sejenis tidak lagi sekadar ruang hiburan. Mereka dapat menjadi alat komunikasi yang strategis membangun brand presence, memperkuat keterlibatan emosional, dan menciptakan koneksi yang lebih autentik dengan audiens lintas generasi. Karena pada akhirnya, bukan soal mengikuti tren semata, tetapi bagaimana sebuah brand mampu hadir dengan relevan dan bermakna, di tempat di mana audiens mereka berada. Jika Anda tertarik dengan konten ini, kunjungi sumber linknya [disini](https://www.viva.co.id/vstory/opini-vstory/1813765-dari-mesin-pencari-ke-media-sosial-bagaimana-konsumen-mengakses-informasi).

Source link

Berita POpuler

Berita Terkait
Related

Raja Ecommerce Tutup di RI: Memasuki Pasar Internasional dengan Cepat

Shein, raksasa e-commerce China, pernah beroperasi di Indonesia antara...

Polisi Bekasi Tangkap Tersangka Penganiaya

Pihak Kepolisian telah mengamankan seorang pria berinisial N (33)...

Momen Indonesia Debut di BRICS: Prabowo Disambut Presiden Lula

Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, disambut langsung oleh Presiden...

Pramudi Transjakarta vs Ojol: Penyebab Bentrok Klakson!

Pramudi Transjakarta terlibat dalam bentrokan fisik dengan ojek online...