Direktur Institut Strategi Merah Putih (MPSI), Noor Azhari, mengevaluasi langkah yang diambil oleh PDIP sebagai langkah simbolis untuk memperkuat citra politik mereka tanpa memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kebijakan pemerintah. Noor Azhari menyatakan bahwa instruksi yang dikeluarkan oleh Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, untuk menunda keikutsertaan kepala daerah dan wakil kepala daerah PDIP dalam retret merupakan langkah yang lebih bersifat simbolis daripada substansial.
Instruksi ini datang pada saat dinamika politik sedang memanas, terutama setelah penangkapan Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto oleh KPK terkait kasus suap pergantian antarwaktu anggota DPR dan hambatan dalam kasus Harun Masiku. Noor Azhari menginterpretasikan langkah PDIP ini sebagai upaya untuk memperkuat posisinya sebagai oposisi tunggal dalam parlemen.
Meskipun PDIP memiliki hanya 110 kursi di DPR, partai tersebut berusaha untuk mempertahankan pengaruhnya. Selama pemerintahan Prabowo, PDIP telah menegaskan dirinya sebagai oposisi yang terukur dan memainkan peran sebagai “penyeimbang”. Meskipun kritis terhadap kebijakan pemerintah, PDIP tetap berusaha menjaga komunikasi politik di berbagai lini.
Noor Azhari juga menyoroti dinamika politik di Koalisi Indonesia Maju Plus (KIM Plus) antara Partai Gerindra dan Golkar, serta potensi konflik internal. Strategi PDIP dalam membangun narasi oposisi juga dapat berpengaruh pada stabilitas politik nasional. Dengan berbagai tekanan politik dan hukum, PDIP dihadapkan pada tantangan besar yang mempengaruhi persepsi publik terhadap partai itu.
Presiden Prabowo diharapkan untuk mempertahankan soliditas koalisi KIM Plus sambil menjaga hubungan dengan PDIP agar tidak menjadi oposisi yang lebih agresif. Langkah menolak retret kepala daerah oleh PDIP dilihat sebagai upaya untuk menjaga solidaritas internal partai serta menghindari persepsi bahwa PDIP mulai melunak terhadap pemerintahan Prabowo.
