Kisah menarik dari kitab Hilyatul Awliya karya Ahmad bin ‘Abdillah al-Ashbahani mengisahkan tentang kejujuran dan karakter seseorang yang namanya tercatat sepanjang masa. Kisah ini melibatkan suatu kejadian dimana sepupu Rasulullah SAW, yaitu Sayidina Ali bin Abi Thalib, kehilangan baju besi kesayangannya. Beberapa hari kemudian, Ali secara kebetulan menemukan baju besinya dijual oleh seorang pedagang Yahudi di pasar. Ali langsung meminta penjelasan kepada pedagang tersebut, yang akhirnya berujung pada suatu perdebatan yang memuncak ke dalam persidangan di Mahkamah Pengadilan dengan dipimpin oleh hakim Syuraih. Meskipun Ali yakin bahwa baju besi tersebut miliknya, namun ia akhirnya harus melepaskan baju besi tersebut karena kekurangan saksi. Keputusan tersebut membawa dampak yang tak terduga, di mana pedagang Yahudi tersebut mengakui bahwa baju besi itu milik Ali dan akhirnya masuk Islam.
Kisah ini memberikan pelajaran berharga tentang kejujuran, integritas, dan penyelesaian konflik dengan cara yang baik dan benar. Jauh berbeda dengan perilaku era post-truth saat ini di mana media sosial digunakan untuk menyebarkan opini, kebohongan, dan kebencian tanpa memperhatikan kebenaran. Era post-truth membuat orang lebih memilih kebenaran subyektif daripada fakta, sehingga kebohongan dan hoaks menjadi hal yang biasa. Kejujuran dan integritas semakin terkikis oleh narasi palsu yang dipopulerkan di media sosial, menyebabkan informasi yang disajikan menjadi tidak jelas dan merugikan bagi masyarakat.
Dalam zaman ini, penting untuk belajar dari kisah-kisah seperti kisah Ali dan pedagang Yahudi, di mana penyelesaian yang bijaksana dan penuh kejujuran dapat membawa kedamaian dan kedamaian di tengah-tengah kekacauan informasi yang diciptakan oleh era post-truth. Semoga kita semua dapat mengambil pelajaran berharga dari kisah tersebut dan menjadikan integritas dan kejujuran sebagai prinsip dalam berinteraksi di dunia digital yang penuh dengan informasi yang tidak jelas dan manipulatif.
