Gunung Everest, puncak tertinggi di dunia dengan ketinggian mencapai 8.849 meter di atas permukaan laut, sering menjadi perbincangan apakah bisa meletus seperti gunung berapi. Untuk menjawab pertanyaan ini, penting untuk memahami karakteristik geologi dari Gunung Everest serta proses pembentukannya. Gunung Everest sebenarnya bukan gunung berapi, melainkan gunung lipatan yang terbentuk akibat tumbukan antara Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia. Sebagai gunung lipatan, Everest tidak memiliki kantung magma di bawahnya seperti gunung berapi pada umumnya.
Ada beberapa alasan utama yang menjelaskan mengapa Gunung Everest tidak bisa meledak seperti gunung berapi. Pertama, komposisi geologisnya terdiri dari batuan sedimen dan metamorf yang terangkat oleh tekanan tektonik, bukan dari aliran lava. Selain itu, posisi geografisnya terletak di zona tumbukan antara dua lempeng benua, bukan di zona subduksi atau hotspot vulkanik. Selain itu, Everest tidak memiliki kantung magma yang diperlukan untuk meledak, juga tidak menunjukkan tanda-tanda aktivitas vulkanik. Meskipun tidak bisa meletus seperti gunung berapi, Gunung Everest tetap rentan terhadap ancaman geologis lainnya, seperti gempa bumi, pencairan salju dan gletser, serta longsor dan runtuhan batu.
Jika Everest adalah gunung berapi, dampak dari letusannya akan sangat menghancurkan dan berpotensi mempengaruhi negara-negara di sekitarnya. Namun, karena Everest bukan gunung berapi, scenario bencana ini tidak mungkin terjadi. Meskipun begitu, tetap penting untuk waspada terhadap tantangan geologis lainnya di sekitar Gunung Everest. Dengan demikian, mengetahui bahwa Everest bukan gunung berapi sudah memberikan pemahaman yang lebih jelas mengenai kemungkinan bencana geologis yang mungkin terjadi di kawasan tersebut.