Banyak pejabat yang mempersilakan masyarakat untuk mengajukan judicial review terhadap UU TNI jika tidak setuju dengan revisinya. Menteri Hukum juga memberikan izin kepada publik untuk melakukan hal ini. Namun, hal ini menunjukkan pola klasik dalam politik legislasi di Indonesia, yaitu melemparkan tanggung jawab kepada Mahkamah Konstitusi (MK) jika terdapat ketidakpuasan terhadap undang-undang yang disahkan. Proses pembentukan undang-undang seharusnya melibatkan perundingan antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, bukan hanya mengandalkan MK sebagai penyelesaian atas ketidakpuasan.
Pola ini bukanlah hal baru, ketika undang-undang kontroversial disahkan, pejabat publik sering kali menyarankan masyarakat untuk menggugatnya di MK, tanpa mengakui adanya kelemahan dalam proses legislasi. Hal ini tidak hanya menunjukkan kurangnya komitmen terhadap proses partisipatif, tetapi juga menumpuk beban pada MK yang seharusnya tidak seharusnya bertindak sebagai tempat untuk membuang undang-undang yang bermasalah.
Revisi UU TNI yang dilakukan dengan serampangan telah menimbulkan kekhawatiran di masyarakat. Salah satu isu utama adalah peran yang semakin dominan dari militer dalam ranah sipil, yang dapat merusak prinsip supremasi sipil dan demokrasi. Penolakan terhadap revisi UU TNI menunjukkan bahwa terdapat permasalahan serius dalam proses pembentukan undang-undang ini. Selain UU TNI, revisi undang-undang lainnya seperti UU KPK, UU Minerba, UU Cipta Kerja, dan UU IKN juga mengalami hal serupa.
Pemerintah seharusnya tidak mengalihkan tanggung jawab ke MK sebagai solusi atas legislasi yang bermasalah. Jika masyarakat dilibatkan secara lebih luas dalam proses pembentukan undang-undang sejak awal, polemik ini dapat diminimalisasi. Mengandalkan judicial review ke MK tidaklah membantu memperbaiki proses legislasi yang minim transparansi dan kurang demokratis. Fokus seharusnya pada upaya pemerintah dan DPR untuk memastikan legislasi berkualitas dengan melibatkan partisipasi publik yang bermakna.