Musim kemarau telah lama dikenal sebagai periode dengan udara panas, cuaca kering, dan minim hujan. Namun, tahun ini, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan bahwa musim kemarau akan berlangsung lebih singkat dari tahun-tahun sebelumnya. Meskipun terdengar menggembirakan, perubahan ini tetap perlu diwaspadai karena berpotensi menimbulkan risiko seperti cuaca ekstrem dan ancaman gagal panen.
Menurut Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, musim kemarau tahun 2025 sudah dimulai sejak April dan diperkirakan akan meluas hingga bulan Juni. Meskipun durasinya diprediksi lebih pendek dari biasanya, perlu diantisipasi potensi dampak yang mungkin timbul sejak dini. Puncak musim kemarau diperkirakan terjadi pada bulan Juni hingga Agustus 2025, dengan sejumlah daerah seperti Jawa bagian tengah dan timur, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, dan Maluku diprediksi mengalami kekeringan parah.
Meskipun kondisi iklim global seperti El Nino dan IOD saat ini netral, suhu muka laut di sekitar Indonesia yang cenderung lebih hangat hingga September diperkirakan tetap akan berdampak pada cuaca lokal dan menimbulkan dampak tertentu yang perlu diwaspadai. Potensi risiko yang mungkin terjadi selama musim kemarau 2025 antara lain kekeringan di beberapa wilayah, ancaman gagal panen dan gangguan pertanian, bahaya kebakaran hutan dan lahan, penurunan kualitas udara, dampak suhu panas dan kelembapan tinggi, ketersediaan air bersih yang terbatas, serta peluang pertanian di wilayah basah.
Untuk mengantisipasi potensi risiko tersebut, perlu dilakukan langkah-langkah preventif seperti penyesuaian jadwal tanam, pembasahan lahan gambut, pengelolaan air yang bijak, dan pengawasan terhadap potensi hama pertanian. Dengan pemahaman yang tepat dan kesiapan yang baik, diharapkan masyarakat dapat menghadapi musim kemarau 2025 dengan lebih siap dan terlindungi.