Teknologi kecerdasan buatan (AI) menyebabkan Amerika Serikat (AS) dan China terlibat dalam perang untuk dominasi. AS dan China saling blokir teknologi demi menghambat perkembangan AI lawan. Chip semikonduktor adalah komponen utama dalam pengembangan AI yang dilibatkan dalam persaingan ini.
Tak hanya AS yang melakukan pembatasan ekspor chip ke China, tetapi China juga melakukan pemblokiran ekspor mineral vital ke AS. China juga telah meluncurkan program pendanaan ‘Big Fund’ untuk industri semikonduktor guna mencapai kemandirian dalam bidang ini. Sementara AS merespons dengan mempersiapkan proyek besar senilai US$500 miliar untuk menyaingi China.
Pertarungan geopolitik antara AS dan China dalam pengembangan AI membawa dampak besar terhadap perekonomian global. Potensi ekonomi AI diprediksi mencapai triliunan dolar dalam beberapa tahun mendatang. Program-program pendanaan dan proyek besar diluncurkan untuk bersaing dalam era kecerdasan buatan ini.
Selain AS dan China, negara-negara lain seperti Uni Emirat Arab, Inggris, Jerman, Jepang, Korea Selatan, hingga Indonesia juga ikut berinvestasi dalam pengembangan AI. Infrastruktur seperti chip AI dan pusat data menjadi prioritas dalam era AI ini. Hubungan AS-China dalam pengembangan AI juga memengaruhi pasar global chip, dengan China mampu menghasilkan teknologi AI canggih dengan biaya lebih efisien.
Pengembangan AI yang cepat membawa peluang baru bagi setiap negara. Namun, regulasi yang jelas diperlukan untuk mengatasi risiko negatif dari AI, termasuk aspek etika, keamanan, dan dampak terhadap tenaga kerja manusia. Dalam pertarungan menguasai AI, negara yang berhasil dapat menjadi penguasa dunia di masa depan.