Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi di The Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Andry Satrio Nugroho menilai usulan KADI itu tidak tepat dan harus dilakukan peninjauan ulang.
Menurut dia, jika dipaksakan maka perdagangan dan perekonomian Indonesia terdampak implikasi negatif.
Salah satunya menyangkut kelangkaan stok keramik di pasaran yang bisa berimbas terhadap kenaikan harga.
“Dalam hal ini pressure kepada Kementerian Keuangan bahwa Kementerian Keuangan harus melihat apakah memang saran ini tepat atau rekomendasi ini tepat, karena tentu yang kita takutkan implikasinya bermacam-macam, jangan sampai satu regulasi berimplikasi ke beberapa hal yang tentunya tidak kita inginkan ke depannya,” ujar Andry dalam keterangan yang diterima redaksi, Kamis (15/8).
Andry menambahkan saat ini saja sebelum BMAD ditetapkan, di tengah kebutuhan keramik yang tinggi mulai terjadi kelangkaan di pasar.
Hal ini menghambat masyarakat untuk membangun rumah, termasuk para kontraktor yang sedang mengerjakan konstruksi perumahan terkena imbasnya.
“Pemerintah harus jelas terkait dengan regulasi ini, karena kita tahu bahwa belum ditentukan keputusan dari BMAD ini, iya atau tidak, barang itu sudah langka. Kalau barang sudah langka real estate sulit untuk membangun padahal kontrak sudah berjalan, konstruksi sudah berjalan, kita juga melihat masyarakat pada akhirnya harus menanggung biaya akibat kelangkaan ini,” bebernya.
Kelangkaan ini, menurutnya mengerek harga keramik naik dan memukul daya beli masyarakat menjadi turun. Andry menghimbau pemerintah supaya tidak membuat kebijakan kontraproduktif yang membuat tekanan terhadap konsumsi masyarakat.
“Jadi menurut saya dampaknya sudah mulai terasa dan kita harus melihat di sisi lain, daya beli dari masyarakat ini sedang menurun, kelas menengah sedang turun degradasi ke kelas bawah ini menurut saya harus dilihat bahwa kita tidak boleh mengeluarkan regulasi yang pada akhirnya memberikan tekanan terhadap konsumsi dari masyarakat menengah,” tegasnya.
Lanjut Andry menyampaikan rencana penerapan BMAD yang awalnya mencapai 200 persen kini berubah turun menjadi sekitar 40-50 persen pun dipertanyakan, sebab mau sekecil apapun tarif yang dipatok harus dibuktikan secara objektif terlebih dahulu bahwa telah terjadi dumping.
“Regulasi itu harus jelas bahkan mau dibuat 10 persen sekalipun, kecil sekalipun harus terbukti bahwa ternyata memang terbukti dumping sebesar 10 persen, sehingga kita bisa mengenakan bea masuk 10 persen, nah ini tidak ada buktinya apa?” tegasnya lagi.
“Bahkan menurunkan dari 200 persen ke 50 persen berarti ini kan hanya regulasi yang dibangun oleh intuisi yang bersifat subjektif bukan objektif, kepercayaan dari para pelaku usaha akan turun pada pemerintah. Oh ternyata regulasi yang dibuat ini semata-mata hanya bersifat subjektif,” pungkas Andry.