PHK, Paradoks Pertumbuhan Ekonomi dan Kekuatan Konsumsi Masyarakat

Date:



Paradoks ini harus segera dikoreksi karena sudah menyakiti dan mendegradasi kualitas hidup masyarakat kebanyakan yang ditandai dengan meningkatnya jumlah angkatan kerja yang menganggur. 

Karena itu, keputusan Presiden Prabowo Subianto menangani krisis PT Sritex idealnya menjadi pijakan awal menyelaraskan kebijakan ekonomi yang berfokus pada penguatan industri dalam negeri. 



PT Sritex, bersama belasan perusahaan lainnya adalah contoh kasus tentang pelaku industri manufaktur yang bangkrut, justru ketika  perekonomian Indonesia terus bertumbuh di kisaran 5 persen, dengan kekuatan konsumsi masyarakat sebagai penopang utama pertumbuhan itu. 

Lazimnya, konsumsi masyarakat dalam negeri yang kuat membuat industri manufaktur dalam negeri sehat dan mampu menyejahterahkan pekerja.

Alih-alih menikmati kekuatan pertumbuhan konsumsi itu, para pekerja di sektor industri manufaktur justru kehilangan pekerjaan karena pabrik tempat mereka bekerja tidak berproduksi akibat tidak adanya order atau permintaan dari pasar. 

Pertanyaannya, aneka produk manufaktur yang bertebaran di pasar dalam negeri dan dibeli oleh masyarakat itu berasal dari mana? Jawaban paling masuk akal adalah produk impor. Harga yang ditawarkan demikian murah sehingga muncul kesan produk-produk impor itu dijual dengan harga dumping.

Banjir produk impor dengan harga sangat murah itu menjadi pukulan telak bagi industri manufaktur dalam negeri. Berbagai kalangan sudah berulangkali mengingatkan ekses dari banjir produk impor itu. 

Kementerian Tenaga Kerja mencatat, sepanjang periode Januari-Oktober 2024, total PHK dialami lebih dari 52.993 pekerja. 

Tahun 2023, total PHK mencapai 64.000. Semakin banyak produsen yang bangkrut memunculkan asumsi bahwa gelombang PHK di berbagai sektor industri bakal terus membesar hingga di atas 70.000 pekerja pada akhir tahun 2024. 

Jumlah pengangguran menjadi sangat besar jika ditambahkan dengan 10 juta komunitas Gen-Z yang tidak melanjutkan pendidikan dan tidak bekerja, sebagaimana diungkap Badan Pusat Statistik (BPS) pada Mei 2024.  

Menanggapi paradoks ekonomi itu, Presiden Prabowo Subianto bertindak responsif, dengan memerintahkan Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian BUMN dan Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) menyelamatkan Sritex. Keempat menteri diminta segera mengkaji sejumlah opsi untuk menyelamatkan Sritex.  

“Pemerintah akan segera mengambil langkah menyelamatkan karyawan PT Sri Rejeki Isman (Sritex), setelah perusahaan itu dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri (PN) Semarang,” kata Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang, Minggu, 27 Oktober 2024. 

Perusahaan ini menaungi tak kurang dari 50.000 pekerja.  Selain merugi selama empat tahun berturut-turut sejak 2021, Sritex pun menanggung beban utang 1,597 miliar dolar AS, setara Rp 25 triliun pada kurs Rp 15.600 per dolar AS.

Cerita tentang Sritex dan juga kebangkrutan Sepatu Bata memang menyita perhatian publik. Namun, melihat dan memaknai catatan pengurus organisasi serikat pekerja di beberapa daerah, faktanya lebih memprihatinkan lagi.  

Sejumlah perusahaan skala menengah pun diambang kebangkrutan karena tak ada permintaan atau order. Melakukan PHK atau merumahkan karyawan menjadi opsi tak terhindarkan.

Sepanjang durasi pandemi Covid-19 hingga tahun 2024 ini, perekonomian nasional selalu tumbuh positif. Tahun 2021 tumbuh 3,69 persen, dengan kekuatan konsumsi masyarakat 2 persen. 

Pertumbuhan tahun 2022 tercatat 5,31 persen dan konsumsi masyarakat berkontribusi sebesar 4,9 persen. Tahun 2023, perekonomian nasional tumbuh 5,05 persen, ditopang oleh kekuatan konsumsi masyarakat sebesar 4,47 persen. 

Catatan historis memang membuktikan bahwa konsumsi masyarakat atau konsumsi rumah tangga mampu menjaga laju pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Kalau data tentang partumbuhan ekonomi dan data kekuatan konsumsi masyarakat itu dihadap-hadapkan dengan fakta dan data kebangkrutan sektor manufaktur dan gelombang PHK yang berkelanjutan, tema diskusi yang layak dimunculkan kemudian adalah kualitas pertumbuhan. 

Data pertumbuhannya bagus, tetapi tampak menjadi sebuah paradoks karena nilai tambah pertumbuhan itu tidak dirasakan semua elemen masyarakat, khususnya komunitas pelaku industri manufaktur dan angkatan kerja di dalam negeri.

Para ekonom dan praktisi bisnis sudah menunjuk kebijakan atau peraturan yang merusak kualitas pertumbuhan ekonomi nasional, utamanya di sektor tata-niaga. 

Impor manufaktur harus bisa dikendalikan dalam takaran yang proporsional agar tidak mematikan industri manufaktur dalam negeri, sebagaimana yang dialami PT Sritex, Sepatu Bata dan komunitas produsen lainnya.

Inisiatif Presiden Prabowo menyelamatkan Sritex patut diapresiasi karena menyangkut kehidupan puluhan ribu pekerja di perusahaan itu. 

Namun, presiden pasti berharap para ekonom pemerintah melihat persoalannya secara komprehensif, dalam arti tidak hanya berfokus pada Sritex.  

Sebab, tantangan riel saat ini adalah upaya mencegah industri manufaktur dalam negeri dari kebangkrutan total.

Industri manufaktur lokal harus diberi ruang untuk hidup sehat di negaranya sendiri, karena aneka industri dengan ragam produk itu mampu menciptakan lapangan kerja dalam jumlah yang signifikan. 

Sejumlah kebijakan atau peraturan harus dikoreksi, jika kebijakan dan peraturan itu nyata-nyata menjadi faktor penyebab turunnya produktivitas industri manufaktur dalam negeri. 

Semua orang paham bahwa produktivitas sektor manufaktur yang menurun tajam mendorong banyak pelaku industri atau pabrik, baik skala besar maupun skala UMKM, melakukan penyesuaian.

Salah satu opsi yang lazim dipilih adalah PHK untuk menurunkan biaya operasional. Hari-hari ini, jumlah angkatan kerja yang menganggur terus bertambah. Kenyataan ini harus disikapi dengan penuh kebijaksanaan.rmol news logo article

*Penulis adalah Anggota DPR RI

Source link

Berita POpuler

Berita Terkait
Related