Jakarta, CNBC Indonesia – Kekhawatiran soal gempa Megathrust di Indonesia menjadi perhatian masyarakat akhir-akhir ini, terutama pasca gempa Megathrust Nankai mengguncang wilayah Jepang pada pekan lalu.
Indonesia sendiri dikepung 13 zona Megathrust. Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG Daryono beberapa saat lalu mengatakan ada dua segmen Megathrust yang perlu diwaspadai, yakni Seismic Gap Megathrust Selat Sunda (M8,7) dan Megathrust Mentawai-Suberut (M8,9).
“Rilis gempa di kedua segmen Megathrust ini boleh dikata tinggal menunggu waktu karena kedua wilayah tersebut sudah ratusan tahun belum terjadi gempa besar,” kata dia dalam keterangan resminya beberapa saat lalu.
Gempa Megathrust adalah gempa sangat besar yang terjadi di zona subduksi, wilayah tempat salah satu lempeng tektonik Bumi terdorong di bawah lempeng lainnya.
Kedua lempeng biasanya terus bergerak mendekati satu sama lain, tetapi “terjebak” di tempat mereka bersentuhan. Akhirnya, penumpukan regangan melebihi gesekan antara kedua lempeng dan terjadilah gempa Megathrust.
Tsunami 34 Meter
Dalam laporan berjudul ‘On The Potential for Megathrust Earthquake and Tsunamis Off The Southern Coast of West Java and Southeast Sumatra, Indonesia’ yang dirilis oleh beberapa pakar termasuk dari BMKG, disebutkan soal dampak gempa Megathrust di Indonesia.
Laporan menyebut tingkat kegempaan yang tinggi di Jawa Barat dan Sumatra terjadi akibat pertemuan lempeng Indo-Australia dan subduksi di bawah Lempeng Sunda. Peristiwa Megathrust besar yang terkait dengan proses ini kemungkinan besar menimbulkan bahaya gempa bumi dan tsunami besar bagi masyarakat sekitar.
Namun, upaya lebih lanjut diperlukan untuk membantu memahami kemungkinan dan frekuensi kejadian tersebut.
Peneliti menggunakan data katalog seismik yang bersumber dari BMKG dan International Seismological Center (ISC) periode April 2009 hingga Juli 2020, untuk melakukan pengukuran hiposenter gempa.
“Hasil penelitian kami menunjukkan adanya kesenjangan seismik yang besar di bagian selatan Jawa Barat dan bagian tenggara Sumatra, hal ini sesuai dengan studi GPS sebelumnya yang menemukan bahwa wilayah tersebut berpotensi menjadi sumber gempa Megathrust di masa depan,” tertera dalam laporan tersebut, dikutip dari Springer, Jumat (16/8/2024).
Untuk menyelidiki hal ini lebih lanjut, pemodelan tsunami dilakukan di wilayah tersebut untuk dua skenario berdasarkan perkiraan kesenjangan kegempaan dan keberadaan sesar backthrust.
“Kami menemukan bahwa ketinggian maksimum tsunami bisa mencapai 34 meter di sepanjang pantai barat Sumatra paling selatan dan di sepanjang pantai selatan Jawa dekat Semenanjung Ujung Kulon,” tertera dalam laporan.
Perkiraan itu senada dengan tinggi maksimum tsunami yang diprediksi oleh studi sebelumnya di wilayah selatan Jawa yang sumber gempanya berasal dari inversi data GPS.
Namun, penelitian ini memperluas analisisnya hingga ke wilayah tenggara Sumatra dan menunjukkan bahwa memperkirakan retakan akibat kesenjangan seismik dapat menghasilkan penilaian bahaya tsunami yang dapat diandalkan tanpa adanya data GPS.
Rekomendasi Buat Pemerintah
Ahli Gempa dan Tsunami GNS Science Selandia Baru Aditya Gusman mengatakan, diperlukan kerja sama antar pemerintah pusat dan daerah, baik tingkat kota/ kabupaten maupun provinsi, untuk perencanaan tata kota yang mengacu pada estimasi bahaya.
Hal itu disampaikan saat diskusi bedah buku seri 4, “Tsunami Bahaya yang Diabaikan”, yang digelar Disaster Channel secara online, Jumat (9/8) lalu.
“Kita punya istilah estimasi hazard, periode ulang. Kalau mau desain sesuatu, return periode-nya berapa lama? 100-2.000 tahun misalnya. Ini berkaitan dengan frekuensi. Kalau return periodenya 2.000 tahun, berarti frekuensinya rendah. Misalnya tsunami 15 meter. Kalau 100 tahun misalnya tsunami 1 meter. Tapi bukan berarti kejadiannya setiap 100 tahun ya. Ini statistik, acuan tinggi rendahnya frekuensi kejadian,” katanya.
“Ini bisa jadi acuan untuk tata kota. Biasanya diminta untuk membuat return periode maksimum. Misalnya, maksimum 2.500 tahun, kejadian tsunami 10 meter. Ini akan digunakan untuk desain fasilitas-fasilitas sangat penting dan krusial. Misalnya, bangunan rumah sakit, bangunan pemerintahan. Dirancang agar kuat dan bertahan lama pada saat tsunami tinggi 10 meter terjadi,” jelas Aditya.
Sementara untuk merancang pembangunan bangunan yang tidak terlalu krusial, seperti fasilitas umum berupa lapangan bola atau toilet umum, akan menggunakan estimasi periode ulang 100 tahun.
“Jadi ada hazard assessment-nya dengan periode berulangnya. Ini akan menentukan prioritas ketahanan bangunan. Ini digunakan dalam perencanaan, tergantung pemerintah daerah,” kata Aditya.
Pengamat Tata Kelola Kota dari Universitas Pakuan (Unpak) Budi Arief mengatakan hal senada. Menurutnya, pemetaan wilayah-wilayah sesuai peruntukan dan kondisinya mendesak dilakukan.
Budi mengatakan, bencana memang bisa diprediksi, namun tak ada yang dapat menebak kapan akan terjadi. Karena itu, lanjut dia, salah satu faktor yang harus dipersiapkan adalah infrastruktur yang mumpuni. Tak hanya itu, dia juga menyoroti pengelolaan lahan yang harus terencana.
“Bagaimana menangani area rawan gempa, berisiko banjir dan longsor? Belum lagi dengan potensi terjadinya degradasi lahan. Jadi, masalah perencanaan dan pengelolaan di hulu belum terencana,” katanya kepada CNBC Indonesia.
Karena itu, lanjut dia, pemberian izin pemanfaatan lahan di suatu lokasi harus terencana dan memperhitungkan potensi bencana yang mengintai.
Dia pun menyoroti masih banyaknya pemukiman yang terbangun di sepanjang pinggiran sungai. Bahkan, pemukiman itu mendapat pasokan listrik dan air. Pemetaan wilayah rawan bencana, ujarnya, mendesak dilakukan.
“Karena itu, integrasi kebijakan menjadi faktor penting. Dengan begitu, pemetaan dan menjamin pengembangan suatu wilayah sesuai dengan peruntukannya dapat terwujud,” cetus Budi.
Sebab, lanjut dia, potensi bencana tidak hanya datang dari kejadian alam. Tapi, juga bencana yang berpotensi terjadi karena ledakan jumlah penduduk. Sebab, kata dia, jika jumlah penduduk di suatu lokasi terlalu padat, akan mengurangi peluang dan daya dukung infrastruktur yang tersedia.
“Penciptaan lapangan kerja baru di daerah menjadi penting, sehingga tidak semakin memicu terjadinya urbanisasi. Pusat-pusat ekonomi baru harus diciptakan, sehingga tidak harus berlomba-lomba ke Jakarta,” katanya.
Budi mengusulkan, salah satu cara yang strategis dapat dilakukan untuk menekan dampak bencana adalah dengan mengurangi lahan-lahan tertutup melalui pembangunan gedung vertikal.
Meski, kata dia, upaya itu juga berhadapan pada perubahan budaya di Indonesia yang masih lebih mengutamakan rumah tapak. Hal itu, kata dia, terlihat dari penjualan apartemen yang tak terlalu signifikan.
“Yang pasti, acuan yang harus jadi panduan tata ruang, baik nasional, provinsi, maupun kota/ kabupaten adalah dengan integrasi kebijakan. Pusat dan daerah harus terintegrasi kebijakan tata ruangnya. Jangan sampai ada lagi pembangunan perumahan di wilayah rawan bencana, misalnya. Intinya, mitigasi bencana harus dilakukan konsisten,” kata Budi.
(fab/fab)
Next Article
BMKG Warning Gempa Megathrust Guncang RI, Tinggal Menunggu Waktu