Jakarta, CNBC Indonesia – Startup bangkrut dan tutup di Amerika Serikat (AS) melonjak 60% sepanjang tahun lalu. Hal ini dipicu para pendiri (founder) yang kekurangan uang untuk melanjutkan operasional bisnis pasca ‘booming’ startup sepanjang 2021-2022.
Perlambatan di sektor teknologi mengakibatkan PHK massal selama beberapa tahun terakhir, bahkan masih berlanjut hingga kini.
Industri teknologi yang sebelumnya disebut-sebut sebagai ‘masa depan’ kini memicu kekhawatiran. Jutaan pekerjaan di startup terancam gara-gara ekonomi yang kian tak menentu.
Menurut laporan Carta, jumlah startup yang tutup meningkat signifikan. Sebanyak 254 kliennya yang dibekingi modal ventura terpaksa gulung tikar pada kuartal pertama (Q1) 2024.
Tingkat kebangkrutan startup saat ini naik 7 kali lipat sejak Carta mulai melaporkan kegagalan startup pada 2019, dikutip dari FT, Selasa (20/8/2024).
Pekan lalu, perusahaan teknologi keuangan Tally menjadi salah satu yang terpaksa tutup usia. Penyedia tool manajemen kredit berusia 9 tahun tersebut pernah memiliki valuasi US$ 855 juta pada 2022 usai mendapat pendanaan.
Tally juga kembali menerima suntikan dana lebih dari US$ 170 juta dari modal ventura besar, termasuk Andreessen Horowitz dan Kleiner Perkins.
Pendiri Tally, Jason Brown, mengumumkan di LinkedIn startup-nya terpaksa tutup karena tak bisa mengamankan pendanaan selanjutnya untuk meneruskan operasional.
Tally menjadi salah satu dari beberapa startup besar yang tutup pada tahun lalu. Selain itu, ada juga Caffeine, situs live-streaming yang meraup pendanaan US$ 250 juta dari beberapa investor besar termasuk Fox Corp, Andressen, dan Sanabil.
Startup kesehatan Olive yang bernilai US$ 4 miliar pada 2021 dan startup truk Convoy yang bernilai US$ 3,8 miliar pada 2022 juga bangkrut.
Co-working space WeWork yang meraup US$ 16 miliar dari SoftBank dan divisi Vision Fund di bawahnya juga tutup usia pada November lalu, pasca melantai di bursa pada 2021 silam.
Salah satu faktor kebangkrutan startup bertubi-tubi merupakan dampak dari kenaikan suku bunga sejak 2022. Investasi modal ventura ke startup kecil merosot.
Selain itu, banyak pendanaan startup yang juga tertahan imbas kolapsnya Silicon Valley Bank pada tahun lalu.
Di masa-masa sulit, para modal ventura mendorong pendiri startup untuk terus-terusan mengambil investasi lebih besar. Hal ini untuk mendorong valuasi perusahaan agar lebih ‘menjual’, menurut Healy Jones, VP Kruze Consulting.
“Terjadi kultur pendanaan yang gila, di mana insentif modal ventura dan pendiri startup tak selalu beriringan,” kata dia.
Saat ini, pendiri startup menghadapi ‘hangover’. Maraknya startup bangkrut dipicu fakta banyak startup yang mendapat pendanaan gila-gilaan sepanjang 2021-2022, menurut analis di Morgan Stanley.
Mereka kala itu langsung ‘menghambur-hamburkan’ uang dengan menyerap banyak tenaga kerja, serta memberikan fasilitas dan benefit mewah.
Morgan Stanley mencatat ada 4 juta orang di AS yang bekerja pada firma-firma yang dibekingi modal ventura. Jika tingkat kebangkrutan terus melonjak, hal ini akan berisiko terhadap ekonomi akibat meningkatnya angka pengangguran.
Head of Insight di Carta, Peter Walker, mengatakan terjadi penurunan tajam untuk jumlah perusahaan yang mampu mendapat pendanaan kembali dalam dua tahun pasca pendanaan terakhir mereka.
Tren ini merupakan mimpi buruk bagi startup. Mereka harus memutar otak selama dua tahun untuk menghemat pengeluaran, bahkan mengorbankan pertumbuhan.
“Modal ventura menuntut startup untuk mencatat pertumbuhan sebesar-besarnya, lalu langsung bisa meraup profit sebanyak-banyaknya,” kata Walker.
Menurut Jones, klien-klien Kruze yang berhasil meraup pendanaan kedua pada tahun ini mampu meraup pendapatan sekitar 600% per tahun.
Bahkan untuk perusahaan-perusahaan besar, IPO makin seret dan aksi merger-akuisisi (M&A) melambat. Hal ini membuat modal ventura kesulita mengembalikan uang para investor yang membekingi mereka.
Jika terus begini, masa depan pegumpulan dana (fundraising) akan mengkhawatirkan.
Data Carta menyebut hanya 9% dana yang dikelola modal ventura pada 2021 bisa dikembalikan ke investor mereka. Sebagai perbandingan 25% dana pada 2017 bisa dikembalikan ke investor pada tahap yang sama.
Booming AI
Kendati demikian, Jones dan Walker sama-sama optimis dengan aktivitas pendanaan ke depannya. Setelah dua tahun yang buruk, iklim pendanaan diramal akan kembali bergairah.
Mayoritas investasi akan mengalir ke startup yang mengembangkan sistem kecerdasan buatan (AI). Klien-klien Kruze telah mendapat pendanaan US$ 2 miliar sepanjang 2024, menurut Jones.
Sepertiga dari total pendanaan itu lari ke startup berbasis AI. Padahal, jumlah startup yang mengembangkan AI masih sedikit, kurang dari seperempat dari total kliennya.
Bagi startup-startup di sektor kurang ‘seksi’, prediksi masa depannya akan makin sulit, menurut para pakar.
(fab/fab)
Next Article
Dulu Dipecat, Pendiri Bawa Rp 7,9 Triliun Mau Selamatkan WeWork